10/07/2025
Misteri Keajaiban Cincin
Di sebuah dusun tua bernama Watu Pethak, yang tersembunyi di lereng Gunung Lawu, hidup seorang pandai besi bernama Mbah Rekso. Ia tua, pendiam, namun tangannya menyimpan keahlian warisan Majapahit—menempa logam menjadi pusaka.
Konon, Mbah Rekso tak hanya menempa besi dan baja. Ia dipercaya bisa membaca kehendak benda. Bila ia mengangkat sebilah besi, ia tahu apakah benda itu haus darah atau menanti pelindung sejati.
Namun ada satu benda yang selalu ia simpan sendiri—sebuah cincin hitam pekat, dengan batu berkilau seolah menyimpan langit malam dalam genggamannya. Cincin itu tak ia perjualbelikan, tak p**a ia wariskan. Ia menyebutnya, "Cincin Amerta", cincin keabadian.
> "Ini bukan perhiasan," kata Mbah Rekso suatu malam, saat angin gunung membawa kabut masuk ke beranda. "Ini adalah saksi, sekaligus pengikat."
Tak ada yang tahu asal muasal cincin itu. Namun sejak Mbah Rekso memilikinya, ia tidak pernah sakit. Usianya menua, namun raganya tetap kokoh. Dan lebih aneh lagi, ia bisa mendengar suara-suara dari tempat yang tidak kasat mata. Suara yang membisikkan hal-hal yang akan terjadi: kematian, kelahiran, dan bahkan pengkhianatan.
---
Bagian II – Warisan Tak Terduga
Setelah Mbah Rekso wafat dalam duduk bersila menghadap timur, desanya gempar. Ia meninggal tanpa sakit, wajahnya teduh, namun matanya terbuka—menatap kosong seolah melihat hal lain di balik tirai dunia.
Di sisi tubuhnya, terdapat kotak kayu cendana berukir motif naga melingkar. Di dalamnya: Cincin Amerta. Tak ada pesan tertulis, hanya secarik kain bertuliskan huruf Jawa Kuno:
> “Sing nyandhang cincin iki, ora mung nyandang kuwaso, nanging kudu nyandang bebendu.”
(“Siapa yang memakai cincin ini, tak hanya memanggul kuasa, tapi juga kutukan.”)
Namun manusia memang makhluk yang tak pernah puas. Seorang pemuda bernama Bayu, cucu Mbah Rekso, mengambil cincin itu dan memakainya diam-diam.
---
Bagian III – Cincin yang Berbisik
Sejak hari itu, Bayu berubah. Wajahnya menjadi lebih tajam, matanya seperti menembus rahasia orang-orang. Ia tahu siapa yang akan datang ke rumahnya, siapa yang berbohong, dan siapa yang menyimpan dendam padanya.
Ia memenangkan taruhan, menyembuhkan seorang anak yang keras**an hanya dengan menyentuh dahi sang anak, bahkan berhasil memprediksi longsor yang akan menimpa ladang warga.
Orang-orang menyebutnya “Wong Pinter Warisan Gunung”. Tapi Bayu tak senang. Sebab tiap malam, ia tak bisa tidur. Cincin itu berbisik. Suara lirih dari dunia lain, memanggil namanya:
> “Bayu… waktu-mu belum… Tapi kau sudah mencicipi apa yang belum seharusnya…”
Tubuhnya mulai dingin. Telapak tangannya bergetar saat hendak menyentuh air. Dan bayang-bayang Mbah Rekso muncul di cermin, menatapnya dengan mata kosong, mulut bergerak tapi tak bersuara.
---
Bagian IV – Penebusan di Gunung Kelam
Tak tahan, Bayu pergi naik ke puncak Gunung Lawu, tempat dahulu Mbah Rekso bertapa. Ia membawa cincin itu, berniat mengembalikannya ke tempat asal.
Di pertapaan tua yang ditinggalkan waktu, ia menggali tanah di bawah batu keramat dan menemukan sebuah lubang batu. Saat ia melempar cincin ke dalamnya, tanah bergetar. Udara menjadi pekat. Lalu terdengar suara:
> “Cincin itu bukan milikmu. Tapi kini sudah kau segel dalam perjanjian darah. Tak bisa dikembalikan. Hanya bisa diwariskan.”
Bayu menangis. Ia berteriak. Tapi suara itu hilang seperti kabut tertiup angin.