28/05/2018
Hari ini, 12 tahun lalu, lumpur Lapindo mulai menyembur, dampaknya luar biasa destruktif. Selain secara fisik desa-desa tenggelam, kehancuran ekologi tak terpulihkan hingga hari ini. Ekosistem sungai memburuk, tambak-tambak tak lagi baik memproduksi udang karena sumber air yang buruk. Udara yang buruk sempat akibatkan meningkatnya jumlah penderita infeksi saluran pernapasan selama beberapa tahun. Warga yang kehilangan sumber pendapatan dari pabrik, sawah, dan usaha lainnya susah untuk pulih.
Meski dampak buruk terlihat, tak ada pelajaran yang dipetik pengurus negara. Industri migas yang mendapatkan keitimewaan beroperasi meski tak ada dalam desain tata ruang Sidoarjo ini tetap beroperasi hingga kini. Sumur-sumur lama, mereka upayakan berproduksi lebih optimal. Sumur-sumur baru tetap diupayakan. Tak hanya Sidoarjo, wilayah-wilayah kabupaten lain di konsesi blok Brantas ini juga hendak dieksplorasi. Industri ini rakus dan tak peduli atas penolakan warga yang kuatir atas keselamatan hidup mereka. Hampir sama tipologinya dengan industri fosil yang menghajar di pulau lain. Mereka mengeruk dan melubangi tanah, tidak mau menguruk kembali, menjadikan genangan, lalu membunuhi anak-anak seperti di Kalimantan.
Kengerian industri fosil inilah yang memantapkan perlawanan warga dan komunitas-komunitas di berbagai wilayah Indonesia. Selain harus diperingati sebagai tragedi bencana industri , 29 Mei juga menjadi penanda sejak empat tahun lalu. Semoga keselamatan rakyat dan lingkungan menjadi petimbangan pengurus negara dalam mengelola sumber daya alam.
Catur (Direktur Walhi Jatim 2007 - 2010)