02/07/2019
"SAAT matahari terbenam, saya menyembunyikan tas olahraga yang berisikan keperluan saya di balik rumput tinggi di depan rumah, supaya saya selalu siap ketika harus pergi. Saya tidak punya uang sama sekali.
Pagi-pagi benar pada hari berikutnya, sekitar pukul 6 pagi, saya hanya menggosok gigi dan bahkan tidak sempat mandi. Saya pergi tanpa memberi tahu siapa pun, kecuali teman baik saya. Saya berjalan cukup lama untuk bertemu dengan teman yang meminjami saya sejumlah uang supaya saya bisa naik bus ke Dakar.
Di sana, saya disambut oleh keluarga yang tidak saya kenal. Saya langsung berlatih dan mengenali tim tersebut, tapi orang tua saya mencari saya di mana pun. Orang tua saya tidak mau saya putus sekolah. Dengan segala cara, mereka berusaha menemukan saya.
Mereka yakin teman baik saya tahu di mana saya berada. Dia bertahan, tidak mengatakan apa pun. Namun, keluarga saya dan keluarganya terus menekan dia, pada akhirnya dia menyerah.
Orang tua saya menelepon dan meminta saya pulang. Waktu itu orang tua saya menganggap sepakbola hanyalah buang waktu dan tak bisa bikin hidup sukses. Mereka memaksa saya fokus belajar agar jadi guru di masa depan. Di mata mereka, menjadi guru lebih menjanjikan.
Saya tidak mau, tapi setuju dengan syarat mereka bakal membiarkan saya mencoba sepakbola begitu sekolah sudah selesai. Kenyataannya saya benar-benar berhenti sekolah, dan kemudian memilih pergi ke Prancis karena diikat kontrak oleh Metz (klub Prancis).
Jangankan soal kontrak, orang tua saya pun tak tahu bahwa saya berangkat ke Prancis. Yang mereka tahu, saya masih ada di Dakar. Saya hanya memberi tahu paman saya.
Waktu itu saya bahkan tidak punya pulsa untuk menelepon dan mengabari ibu saya. Besoknya, saya dan teman-teman membeli pulsa. Saya menelepon ibu dan menceritakan bahwa saya sudah ada di Prancis.
Dia terkejut setengah mati. Saya bilang padanya, ‘Bu, saya ada di Prancis, di Eropa.’ Terus, dia jawab seperti ini, ‘Ngomong apa kamu?! Kamu tinggal di Senegal!’ Ya, saya bilang saja sekali lagi bahwa saya telah ada di Eropa.
Walau ibu marah, saya tetap mengatakan rindu kepadanya. Saya kangen kebersamaan dengan ibu dan saudara-saudara perempuan saya. Namun, menjadi pesepakbola adalah hal yang saya inginkan dan tahu hari-hari sulit akan membantu saya mencapainya.
Saya berkata kepada diri sendiri untuk terus saja bekerja keras, dan hal yang besar akan datang. Saya melakukan itu. Saya pindah ke Inggris (Southampton), saya bermain baik dan kemudian (Juergen) Klopp menginginkan saya.
Sekarang saya cukup beruntung dapat bermain di salah satu tim terbesar di dunia (Liverpool). Saya bekerja dengan salah satu manajer terbaik di sepakbola, dan saya sangat senang bisa belajar darinya sepanjang waktu.
Saya telah meraih impian saya mengangkat trophy Liga Champions. Saya tak pernah tergiur dengan kehidupan (malam) di luar sana. Saya tidak akan menyentuh alkohol, karena bagi saya agama sangat penting.
Saya menghormati aturan Islam dengan salat lima waktu setiap hari. Begitu ayah yang seorang imam masjid di kampung mengingatkan saya dari kecil.
Orang tua saya sekarang sangat bangga kepada saya. Mereka telah membesarkan saya dengan benar dan cara yang benar. Saya paham kenapa dulu mereka melarang saya, karena saya lahir dan tumbuh di kampung (Bambali). Tak ada pemain sepakbola sukses dari desa saya. Itu membuat orang tua di sana tak memprioritaskan sepakbola untuk anaknya.
***
Kisah inspiratif dari seorang Sadio Mane, pemain Liverpool yang kini menikmati gaji Rp1,7 Miliar per pekan! Jumlah gaji yang berkali-kali lipat dari yang didapat oleh seorang guru di negaranya, bahkan untuk gaji mereka hitungan tahun.
Mane telah menujukkan bahwa pellar (lari) dari rumah ternyata tak selamanya berakibat buruk. Tapi kisah ini tetap tidak bisa jadi pembenaran...
***