05/09/2021
Re-post from Handayani Retno Hapsari
(Sekuel Mba Aritmia dan Mas Kopit - Bagian 03)
*
*
Tercubit
Hari itu BuPer mengantarku Konsul rutin ke Hotel Putih. Beberapa hari yang lalu BuPer ketiban sampur sebagai pimpro pelaksanaan kegiatan penyembelihan hewan kurban di dusun. Kegiatan yang baru saja usai itu memang cukup menguras tenaganya. Jujur… Aku pun agak bergetar ringan. Capek memang. Di Hotel Putih, Bu Dokcan, konsulerku memberikan asupan rutin dengan dosis dua kali lipat yang diberikan bulan lalu. Asupan itu biasa dikonsumsi saat BuPer sarapan. Maklum sudah puluhan tahun, dan BuPer selalu membutuhkan asupan itu untuk membuatku tenang.
Dua hari sepulang dari Hotel Putih, tetiba Mas Bojonya BuPer sakit. Melihat gejalanya, BuPer sudah curiga kalau beliau dapat giliran bertemu Mas Kopit. Sebagai langkah antisipatif, BuPer sudah mengisolasi dan tetap merawat Mas Bojonya sebaik mungkin.
Yakin…
Aku paham kondisi psikis dan fisik BuPer, meski terlihat tegar, namun aku tahu dia agak sedikit terguncang. Terlebih empat hari kemudian si Mas Bojo mulai anosmia dan kedua anak BuPer juga bergejala. Sementara aku melihat BuPer tetap tenang dalam kewaspadaan.
Segala prosedur penanganan baik secara medis maupun birokrasi ditempuh keluarga BuPer demi menjaga lingkungan agar tetap aman dan kondusif. Tes SWAB PCR secara mandiri juga mereka lakukan demi menegakkan diagnosis. Sampai proses ini, BuPer tampak tegar dan sehat. Walau aku sedikit merajuk, namun dia tetap tenang.
“Tenanglah... Kita pasti akan baik-baik saja," bisik BuPer kepadaku.
Hingga hasil tes SWAB PCR keluar, kondisi BuPer dan anak bungsunya tetap tak bergejala meski juga dinyatakan positif. Keluarga yang kompak, positif berlima, membuat mereka saling memperhatikan.
Di saat Mas Bojo dan kedua anaknya sudah proses pemulihan, tetiba Mas Kopit yang sudah berada dalam tubuh BuPer mulai berulah. Aku yang awalnya acuh dan tak peduli dengan kehadirannya di sampingku akhirnya terprovokasi juga.
Sentilan-sentilan ringan Mas Kopit mulai membuatku tak nyaman. Terlebih saat gelitik nakalnya mulai sering menggangguku. Aku benci dia!
Ketidaknyamananku akan kehadiran Mas Kopit mulai kutunjukan dalam pertengkaran kecil.
Sebenarnya kasihan BuPer, karena setiap kami bertengkar, dia harus menahan nyeri dada yang luar biasa. Terkadang malah membuatnya lupa bernafas. Namun kesabarannya untuk terus mendamaikan kami sangat luar biasa. Tatkala Mas Bojo dan anak-anaknya mulai panik, ia tetap ikhlas bertahan dalam kondisi yang semakin membiru.
Mas Kopit pun kembali berulah, cubitannya semakin sakit sehingga membuatku semakin keras bergejolak. Demi mengganguku, anak nakal ini menculikku dan membawaku ke pinggir sungai merah.
Disana ia mengancamku, “Hai gadis cantik… kamu harus mau jadi teman bermainku selama beberapa hari ini. Kamu harus mau menemaniku bermain lempar batu di pinggir sungai ini."
“Demi apa aku harus menurutimu!" bentakku padanya keras.
“Demi akulah…!" Bentaknya kasar
“Aku sudah hadir disini, aku ingin membangun bangunan antibodi di tubuh BuPer agar dia semakin kuat sebelum pas**anku datang menyerang" katanya penuh kesombongan.
“BuPer lak yo belum dapat vaksin to? Takut divaksin to? Siapa tahu kedatanganku bisa jadi pelajaran," kata Mas Kopit sambil tertawa terbahak-bahak.
“Halah… sok tahu kamu Pit," sergahku sambil menahan emosi.
“BuPer belum vaksin karena punya komorbid, kemarin gak lolos screening pertama. Begitu sudah dapat izin dari Bu Dokcan, eee.... di acara vaksin massal yang diselenggarakan untuk desanya, BuPer mengalah dan memberikan jatah vaksinnya untuk warganya yang lebih membutuhkan." belaku.
“Podo wae, BuPer kan lak yo takut to, saat Mas Bojonya kuinfeksi kemarin, takut ditinggalkan Mas Bojonya iya to!" Serangainya menyeramkan.
“Pit…Kopit... takut itu manusiawi yo..., itu tanda masih hidup dalam iman. Takutnya BuPer itu karena Allah. Karena dia belum siap. Mikirin anak-anaknya. Bukan takut yang lain. Ndak kayak kamu yang nggegirisi dan nganyelin. Gak punya rasa takut itu malah tanda tak beriman pada Gusti Allah." Sergahku tak kalah sengit.
“Kamu kok bawa-bawa Gusti Allah to cah ayu? Wong aku itu lak yo makhluk ciptaan Gusti Allah. Aku itu unik dan misterius, ben manusia itu podho eling lan waspada, yen segala kuasa iku masih ditangan Allah. Biar diantara mereka bisa dibedakan mana yang termasuk golongan beriman yang sabar dan tawakal dengan yang tidak!" bentak si Mas Kopit sambil terus mencubiti aku.
“Aduh sakit tau!” kataku kesakitan.
Dan setiap aku kesakitan, BuPer merasakan sesak yang luar biasa di dadanya. Kasihan BuPer, tapi aku juga tak kuasa menangkis serangan cubitan Mas Kopit yang iseng itu. Namun keyakinan BuPer untuk sembuh sangat luar biasa, dia tetap berusaha mendamaikan kami agar mau bersahabat.
“Sabarlah.... Cubitan-cubitan ini mengingatkanku kembali cara bersyukur," lirih BuPer pias.
...