09/11/2025
Fase kehidupan manusia bergerak dalam sebuah siklus yang utuh dan alami, dimulai dari keadaan diam total hingga akhirnya kembali pada keheningan yang sama. Dalam perjalanan ini, manusia melewati beberapa tahapan yang menggambarkan evolusi kesadaran, kebutuhan, dan keinginan yang terus berubah seiring waktu.
Fase pertama adalah fase diam total, saat seorang manusia berada di dalam kandungan. Pada tahap ini, tidak ada keinginan, tidak ada harapan, tidak ada cita-cita. Hanya ada keberadaan murni—diam, tenang, dan tercukupi sepenuhnya oleh sistem alam. Semua kebutuhan dipenuhi tanpa usaha, tanpa kesadaran, tanpa permintaan. Inilah fase kesempurnaan pasif, di mana manusia hidup dalam keadaan penuh tetapi tanpa “aku”.
Memasuki fase kedua, manusia mulai mengenal dunia dan munculnya kebutuhan dasar. Saat bayi lahir, kesadarannya mulai terbuka terhadap rasa lapar, haus, dan rasa nyaman atau tidak nyaman. Namun pada fase ini, semua kebutuhan masih terpenuhi secara alami oleh ibunya. Bayi belum memiliki ambisi atau keinginan yang kompleks. Ia hanya tahu rasa butuh dan pemenuhan kebutuhan itu pun datang tanpa kerja keras. Di sinilah muncul perbedaan antara kebutuhan dan keinginan—kebutuhan muncul dari tubuh, sedangkan keinginan muncul dari pikiran.
Kemudian tibalah fase ketiga, fase hidup sepenuhnya di dunia. Pikiran mulai aktif, keinginan mulai tumbuh. Dari sinilah manusia mengenal cita-cita, perjuangan, kegagalan, penderitaan, harapan, dan berbagai warna kehidupan. Ia mulai bekerja, berusaha, meraih, kehilangan, lalu berjuang kembali. Inilah fase “drama kehidupan”, di mana kesadaran manusia benar-benar bergulat dengan dualitas—antara s**a dan duka, berhasil dan gagal, senang dan kecewa. Fase ini panjang dan kompleks, karena di sinilah manusia membangun ego, identitas, dan pemahamannya tentang dunia.
Setelah puncak perjalanan itu, datanglah fase keempat, fase penurunan. Secara perlahan, kehidupan mulai “mengambil kembali” apa yang pernah diberikan. Tubuh melemah, tenaga berkurang, daya pikir menurun. Manusia mulai kehilangan sebagian dari kemampuannya untuk bekerja dan berkeinginan. Ia mulai kembali ke keadaan pasrah, seperti masa kecilnya. Di sini, kesadaran mulai diarahkan kembali pada esensi—bahwa segala sesuatu yang diperjuangkan hanyalah sementara.
Selanjutnya, fase kelima adalah masa di mana semua kemampuan lahiriah perlahan menghilang. Fisik melemah total, pikiran pun tak lagi aktif seperti dahulu. Ia tidak lagi memiliki keinginan, bahkan kebutuhan dasar seperti makan dan minum pun kadang tidak lagi terasa penting. Dalam fase ini, manusia berada di antara hidup dan mati—di ambang kembalinya pada diam sejati. Saat tubuh sakit parah atau tidak berdaya, keinginan dan kebutuhan sama-sama memudar. Ia kembali pada keadaan seperti semula: diam, kosong, dan hening.
Pada akhirnya, manusia kembali ke fase awal—keadaan tanpa kebutuhan, tanpa keinginan, tanpa gerak. Hanya ada diam yang sempurna. Dari situ, siklus kehidupan selesai dan kesadaran kembali pada asalnya: keheningan total.
Namun, ada sebagian manusia yang menemukan jalan singkat (shortcut) menuju keheningan itu tanpa harus menunggu tubuh menua atau melemah. Jalan ini ditempuh dengan cara melepaskan semua identitas, keinginan, dan keterikatan yang dimiliki selama hidup. Ketika seseorang benar-benar melepaskan “aku”, ia kembali pada kondisi polos dan alami, seperti bayi yang hanya hidup dalam kebutuhan dasar—tanpa ambisi, tanpa kekhawatiran. Ia makan ketika lapar, tidur ketika lelah, berbicara ketika perlu. Tidak lebih, tidak kurang.
Dan ketika ia melangkah lebih dalam lagi—meninggalkan bahkan kebutuhan dasar, tidak lagi mencari apapun, tidak lagi menolak apapun—maka ia mencapai fase tertinggi, yaitu keadaan hening mutlak. Pada tahap ini, manusia tidak lagi dikuasai oleh kebutuhan, keinginan, atau pikiran. Ia hanya “ada”. Hanya diam, tanpa sebab, tanpa tujuan. Dalam diam itulah, segala sesuatu menyatu kembali dengan sumber asalnya.